4.3.
Pidana Cambuk Dalam Hubungannya Dengan KUHP Dan Sistem Pemidanaan Nasional
Membangun kerangka dasar hukum nasional, perlu
dipahami dan dihayati agar setiap membentuk hukum dan perundang-undangan selalu
berlandaskan moral, jiwa dan hakikat yang terdapat dalam pandangan hidup bangsa
Indonesia yaitu Pancasila dan UUD NRI 1945 serta harus pula disesuaikan dengan
tuntutan kemajuan zaman, khususnya sejalan dengan tuntutan reformasi dibidang
hukum. Oleh karena itu hukum harus mampu mengikuti perubahan-perubahan yang
terjadi dalam masyarakat. Hukum bisa berfungsi untuk mengendalikan masyarakat
dan bisa juga menjadi sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam
masyarakat.[1]
Barda Nawawi mensubtansikan tentang 3 masalah pokok dari hukum pidana
(maksudnya hukum pidana materiil) terletak pada masalah yang saling terkait
yaitu: [2]
1. Perbuatan
yang sepatutnya dipidana
2. Syarat
apa yang seharusnya dipenuhi untuk mempersalahkan/ mempertanggung jawabkan
melakukan perbuatan itu, dan
3. sanksi
pidana yang sepatutnya dikenakan pada orang tersebut.
Menurut A. Hamzah dan Siti Rahayu,[3]
hukuman atau pidana yang dijatuhkan dan perbuatan-perbuatan apa yang diancam
pidana, harus lebih dahulu tercantum dalam undang-undang pidana. Dalam kaitannya
dengan pidana cambuk yang hanya diatur dengan Qanun/ setingkat peraturan daerah
telah melangkahi kewenangannya karena Perda hanya boleh mengatur sanksi berupa
denda, kurungan dan tindakan sehingga
hal ini akan menimbulkan permasalahan hukum yang berkepanjangan.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 10 KUHP menentukan jenis-jenis sanksi pidana yakni:
a. Pidana pokok
a.
Pidana mati
b.
Pidana penjara
c.
Kurungan
d.
Denda
b. Pidana
tambahan
a.
Pencabutan hak-hak tertentu
b.
Perampasan barang-barang tertentu
c.
Pengumuman putusan hakim
Hakim
tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman selain yang dirumuskan dalam Pasal 10
KUHP.[4]
Ketentuan dari Pasal 10 KUHP juga diperkuat oleh pengaturan yang lainnya yakni
dengan dikeluarkannya Yurisprudensi tentang hukuman oleh Mahkamah Agung RI
yakni:[5]
1.
Berdasarkan
Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 11 Mei 1970 nomor 59 K/Kr/1969, Mahkamah Agung berpendapat antara
lain sebagai berikut: “Menambah jenis hukuman yang ditetapkan dalam Pasal 10
KUHP adalah tidak dibenarkan”.
2.
Berdasarkan
Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 26 September 1970 Nomor 74 K/Kr/1969,
Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut: “Pengadilan Negeri sebagai hakim
pidana tidak berwenang menjatuhkan putusan selain yang ditentukan dalam Pasal
10 KUHP”.
Berdasarkan Ketentuan Pasal 25 ayat (3)
UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa Peradilan
agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili,
memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kaitannya dengan
Mahkamah Syar’iah dalam menangani perkara pidana di Aceh adalah tidak berwenang
mengadili karena berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU No. 11 Tentang Pemerintahan
Aceh menentukan bahwa Mahkamah Syar’iah berada dalam lingkungan Peradilan Agama
yang merupakan bagian dari sistem hukum Peradilan Nasional.
Putusan Mahkamah Konstitusi No.
19/PUU-VI/2008 yang amar putusannya adalah menolak permohonan untuk menambahkan
kewenangan absolute Peradilan agama
dalam hal hukum jinayah (pidana)
serta menegaskan kembali bahwa Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama tidak
bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 29 ayat (1) dan Ayat (2) UUD NRI 1945. Ketentuan yang diatur pada Pasal
49 ayat (1) adalah kompetensi absolute Peradilan Agama dalam memeriksa, memutus
dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang
perkawinan, waris, hibah, wakaf, zakat, infaq, zadaqah dan
ekonomi syariah. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
“Menimbang, Pemohon
mendalilkan pula bahwa hukum Islam dengan semua cabangnya termasuk hukum pidana
(jinayah) harus diberlakukan di Indonesia karena Indonesia adalah negara
yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan Pemohon juga mendalilkan bahwa
setiap penganut agama yang sah di Indonesia dapat meminta kepada negara untuk
memberlakukan hukum agamanya masing-masing. Terkait dengan hal tersebut,
Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama bertentangan
dengan 24 Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, "Hak
beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun". Ayat (2) berbunyi, "Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu". Terhadap
dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon tersebut tidak
sesuai dengan paham kenegaraan Indonesia mengenai hubungan antara negara dan
agama. Indonesia bukan negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama
tertentu, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak
memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan
masyarakat. Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang
melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya
masing-masing. Dalam hubungannya dengan dasar falsafah Pancasila, hukum
nasional harus menjamin keutuhan ideologi dan integrasi wilayah negara, serta
membangun toleransi beragama yang berkeadilan dan berkeadaban. Dengan demikian,
hukum nasional dapat menjadi faktor integrasi yang merupakan alat perekat dan
pemersatu bangsa. Pelayanan negara kepada warga negara tidak didasarkan pada
ukuran besar (mayoritas) dan kecil (minoritas) pemeluk agama, suku ataupun ras.
Jika masalah pemberlakuan hukum Islam ini dikaitkan dengan sumber hukum, maka
dapatlah dikatakan bahwa hukum Islam memang menjadi sumber hukum nasional,
tetapi hukum Islam bukanlah satu-satunya sumber hukum nasional, sebab selain
hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat, serta sumber tradisi hukum lain pun
menjadi sumber hukum nasional. Oleh sebab itu, hukum Islam dapat menjadi salah
satu sumber materiil sebagai bahan peraturan perundang-undangan formal. Hukum
Islam sebagai sumber hukum dapat digunakan bersama-sama dengan sumber hukum
lainnya, sehingga menjadi bahan pembentukan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebagai hukum nasional”.
Ketentuan tersebut dapat ditafsirkan
bahwa Mahkamah Syari’ah hanya berwenang mengadili sengketa-sengketa orang-orang
yang beragama Islam dalam hal Keperdataan yang bersifat privat sedangkan dalam
hal pidana sebaiknya diadili oleh Pengadilan Umum karena tindak pidana Maisir/ Perjudian, Khamar/ Minuman Beralkohol, Khalwat/
Mesum dan Zina adalah masalah dalam kehidupan manusia yang bukan hanya Agama
Islam saja yang melarang melainkan semua agama melarang perbuatan tersebut
sehingga hal ini merupakan permasalahan Nasional yang wajib ditangani oleh
Negara.
Berdasarkan Ketentuan Pasal 7 ayat (1)
UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menentukan Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai
berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat
c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Propinsi
g. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota
Konsep
Pengaturan Hukum Nasional melalui UU No. 12 Tahun 2011 menganut Sistem
Pengaturan Berjenjang/ bertingkat/ hierarkhi. Dengan demikian maka dalam
pembuatan suatu aturan tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih
tinggi. Sebagai contoh Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Presiden apalagi bertentangan dengan Undang-Undang bahkan tidak boleh
bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Tata hukum, khususnya sebagai personifikasi bukan merupakan system
norma yang dikoordinasikan satu dengan lainnya, tetapi suatu hierarki dari
norma-norma yang memiliki level yang berbeda.[6]
Sehingga atas dasar inilah terbentuknya suatu asas hukum yang disebut Lex Superiori Derogat Legi Inferiori
yang berarti Ketentuan yang lebih tinggi mengalahkan ketentuan yang lebih
rendah. Asas ini berlaku apabila terjadi suatu konflik/pertentangan antara
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan yang rendah maka aturan
yang tertinggi yang didahulukan. Dalam teori ilmu hukum juga dikenal asas Lex spesialis derogate legi generalis
yang berarti bahwa ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan yang bersifat
umum.
Asas ini berlaku terhadap pengaturan
yang bertentangan namun secara hierarki memiliki kedudukan yang sederajat.
Apabila terdapat 2 pengaturan yang bertentangan namun secara hierarki tidak
sederajat maka asas lex spesialis derogate lex generalis tidak dapat
diterapkan. Sebagai contoh dalam Ketentuan Peralihan dalam ketentuan Pasal 37
Qanun No. 12/ 2003, Pasal 32 Qanun No. 13/ 2003, dan Pasal 31 Qanun No. 14/2003
tidak dapat menerapkan asas hukum Lex
spesialis derogate lex generalis karena Qanun ini merupakan sebuah Perda
yang mengenyampingkan ketentuan yang lebih tinggi yaitu KUHP, Pancasila, Pasal
1 Ayat (3) UUD NRI 1945, Pasal 49 Ayat (1) UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan
Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, UU No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Peraturan Perundang-Undangan yang lainnya.
Dalam Pasal 54
RUUHP Tahun 2010 menentukan:
(1) Pemidanaan
bertujuan untuk:
a.
mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat
b.
memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang
yang baik dan berguna
c.
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat dan
d. membebaskan
rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan merendahkan martabat
Manusia.
Apabila
dikaitkan dengan tujuan pemidanaan yang diatur dalam RUUHP Tahun 2010 maka,
pidana cambuk bertolak belakang dengan tujuan pemidanaan yang dianut dalam
RUUHP Tahun 2010. Pada Pasal 54 ayat (2) RUUHP Tahun 2010 telah menegaskan
bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat
manusia.
Di Indonesia terdapat sistem Peradilan
Pidana Terpadu dalam menegakkan hukum pidana yang terdiri dari 4 (empat) sub
sistem yaitu:
1.Kekuasaan
”penyidikan” (oleh badan/lembaga penyidik)
2.Kekuasaan
”penuntutan” (oleh badan/lembaga penuntut umum)
3.
Kekuasaan ”mengadili dan menjatuhkan
putusan/pidana” (oleh badan pengadilan)
4.
Kekuasaan ”pelaksanaan putusan pidana”
(oleh badan/aparat pelaksana/eksekusi).
Penyelenggaraan
peradilan pidana yang sistematis dan terpadu harus menjalankan fungsinya
sebagai berikut:[7]
-
Melindungi
masyarakat melalui upaya penanganan dan pencegahan kejahatan, merehabilitasi
pelaku kejahatan dan melakukan upaya inkapasitasi terhadap orang yang merupakan
ancaman terhadap masyarakat.
-
Menegakkan
dan memajukan the rule of law dan penghormatan pada hukum dengan
menjamin adanya due process dan perlakuan yang wajar bagi tersangka,
terdakwa dan terpidana, melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak
bersalah yang dituduh melakukan kejahatan.
-
Menjaga
hukum dan ketertiban.
-
Menghukum
pelaku kejahatan sesuai dengan falsafah pemidanaan yang dianut
-
Membantu memberi nasehat pada korban
kejahatan
Pidana cambuk yang berlaku di Aceh menyebabkan salah
satu dari sub sistem Peradilan Pidana Terpadu menjadi tidak berfungsi. Lembaga
Permasyarakatan sebagai tempat si terpidana untuk memperbaiki diri dan dibina
agar tidak mengulangi perbuatan melawan hukum menjadi tidak berfungsi. Akibat
selanjutnya adalah tujuan penanggulangan kejahatan di masyarakat melalui Sistem
Peradilan Pidana Terpadu tidak akan tercapai.
[1] Satjipto Raharjo, 1996, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
h. 189.
[2] Barda Nawawi Arief, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana, Edisi Revisi, Citra Aditya, Bandung, h. 136.
[3] A. Hamzah dan Siti Rahayu, Loc. Cit.
[4] Ledeng Marpaung, 2005, Op. cit, h. 107.
[5] Ibid, h. 113.
[6] Jimly Asshiddiqie
dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen
Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, h. 110.
[7] Romli Atmasasmita, 1997, HAM dan Penegakan Hukum, Bina
Cipta, Bandung, h. 32
Used ford edge titanium - TITanium Art
ReplyDeleteListing cost of titanium of the Most Used titanium tv apk Titanium - · Listing of the is titanium a conductor Most nipple piercing jewelry titanium Used Titanium - · nano titanium by babyliss pro Listing of the Most Used Titanium -