Pernahkah saudara/ Pembaca sekalian
mendengar atau bahkan melihat orang di hukum dengan jenis pidana
cambuk? Biasanya jenis pidana ini masih diterapkan di negara-negara yg
menganut sistem hukum Islam, seperti: Malaysia, Arab Saudi dll.
Bagaimana Dengan Di Indonesia? Di Indonesia sendiri dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenal Jenis Pidana cambuk.
Walaupun demikian terdapat salah satu provinsi yang telah menerapkan
jenis pidana cambuk yaitu Nanggroe Aceh Darussalam sebagai Daerah
Otonomi Khusus dalam menerapkan Syariat Islam yang seluas-luasnya
termasuk dalam bidang Hukum Pidana Islam (Jinayah). Hal ini membuat
penulis tertarik untuk mengkajinya lebih lanjut dan semoga tulisan ini
bermanfaat bagi pembaca sekalian dan apabila terdapat kekurangan mohon
saran dan kritik yang bersifat membangun.
1.
Aceh sebagai Propinsi yang diberikan
status Otonomi Khusus diberikan kewenangan yang seluas-luasnya dalam
penyelenggaraan pemerintahannya yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006.
Ketentuan Pasal 125 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
mengandung konsekuensi bahwa syari’at Islam yang dimaksud dalam Undang-Undang
ini merupakan syari’at Islam yang seluas-luasnya, termasuk dalam bidang hukum
pidana (Jinayah). Akibat selanjutnya
adalah bahwa hukum pidana yang berlaku di Aceh adalah hukum pidana Islam
beserta dengan sanksi pidananya. Jenis-Jenis Pidana dalam Hukum pidana Islam
antara lain adalah rajam, jilid atau dera, potong tangan, kurungan/penjara seumur
hidup, eksekusi bunuh, pengasingan/ deportasi dan salib. Kewenangan Mahkamah
Syariah dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana diatur dalam
Ketentuan Pasal 128 UU No. 11 Tahun 2006 adalah berwenang memeriksa, mengadili
dan memutus perkara-perkara berdasarkan Syariat Islam. Ketentuan Pasal 3A ayat
(2) UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama menegaskan bahwa Peradilan Syariat Islam di Aceh
merupakan Pengadilan Khusus yang berada dalam 2 lingkungan Badan Peradilan.
Tentu saja Ketentuan Pasal 3A ayat (2) UU NO. 50 Tahun 2009 telah bertentangan
dengan UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 27 ayat (1) yang menegaskan bahwa Pengadilan
Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan Badan Peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung.
2.
Pidana Cambuk dalam perspektif hukum
pidana nasional adalah bertentangan dan pengaturannya terkesan “dipaksakan”
menjadi bagian dari hukum nasional. Adapun alasannya sebagai berikut:
a.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI
tanggal 11 Mei 1970 nomor 59 K/Kr/1969,
Mahkamah Agung berpendapat antara lain sebagai berikut: “Menambah jenis hukuman
yang ditetapkan dalam Pasal 10 KUHP adalah tidak dibenarkan”.
b.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI
tanggal 26 September 1970 Nomor 74 K/Kr/1969, Mahkamah Agung berpendapat
sebagai berikut: “Pengadilan Negeri sebagai hakim pidana tidak berwenang
menjatuhkan putusan selain yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP”.
c.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 19/PUU-VI/2008 yang amar putusannya menolak menambahkan kewenangan absolut
Peradilan Agama dalam bidang Hukum Jinayah
(Pidana) serta mempertegas kembali ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan
Agama tidak betentangan dengan UUD NRI 1945.
d.
Penjatuhan jenis pidana dengan
membeda-bedakan agama sipelaku bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI
1945 Tentang Persamaan Kedudukan di Dalam Hukum, mengakibatkan terjadinya
dualisme hukum pidana serta ketidakpastian hukum.
e.
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 menentukan
bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan
pemerintah harus berdasarkan pada hukum bukan berdasarkan pada agama tertentu. Pemberlakuan
Syariat Islam secara penuh (kaffah) di
Aceh telah menyalahi makna Negara Hukum yang berlaku di Indonesia.
f.
Penjatuhan jenis pidana cambuk di tempat
terbuka dan disaksikan oleh
orang banyak termasuk anak-anak, secara tidak langsung berdampak negatif yaitu
memberikan pendidikan kekerasan kepada masyarakat umum/ anak-anak. Pidana
cambuk juga menimbulkan luka yang berkepanjangan pada bagian tubuh si terpidana
dan terhadap jenis pidana ini sudah mulai ditinggalkan oleh bangsa-bangsa yang
menjunjung tinggi hukum yang beradab dan berprikemanusiaan.
g.
Pemberlakuan pidana cambuk di aceh telah
membuat salah satu sub sistem peradilan pidana terpadu yaitu Lembaga
Permasyarakatan sebagai tempat untuk untuk mendidik dan membina para terpidana
menjadi tidak berfungsi.
5.2. Saran
Adapun
saran yang ingin disampaikan yaitu:
1.
Terhadap Ketentuan Pasal 125 ayat (2) UU
No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang mengatur mengenai pemberlakuan
hukum jinayah (pidana) ditinjau
kembali karena telah bertentangan dengan Ketentuan yang lebih tinggi yaitu
Pancasila, Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945, Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI 1945, Asas-Asas Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
2.
Terhadap Ketentuan Pasal 3A ayat (2) UU
No. 50 Tahun 2009 yang menentukan bahwa Peradilan Syariat Islam berada dalam 2
(dua) lingkungan Badan Peradilan ditinjau kembali karena telah menyalahi
ketentuan dalam Pasal 27 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menentukan Pengadilan Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah
satu lingkungan Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
No comments:
Post a Comment