Sunday, December 16, 2012

Pidana Cambuk Dalam Perspektif Hukum Pidana Nasional

Pernahkah saudara/ Pembaca sekalian mendengar atau bahkan melihat orang di hukum dengan jenis pidana cambuk? Biasanya jenis pidana ini masih diterapkan di negara-negara yg menganut sistem hukum Islam, seperti: Malaysia, Arab Saudi dll. Bagaimana Dengan Di Indonesia? Di Indonesia sendiri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenal Jenis Pidana cambuk. Walaupun demikian terdapat salah satu provinsi yang telah menerapkan jenis pidana cambuk yaitu Nanggroe Aceh Darussalam sebagai Daerah Otonomi Khusus dalam menerapkan Syariat Islam yang seluas-luasnya termasuk dalam bidang Hukum Pidana Islam (Jinayah). Hal ini membuat penulis tertarik untuk mengkajinya lebih lanjut dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca sekalian dan apabila terdapat kekurangan mohon saran dan kritik yang bersifat membangun.

1.   Aceh sebagai Propinsi yang diberikan status Otonomi Khusus diberikan kewenangan yang seluas-luasnya dalam penyelenggaraan pemerintahannya yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006. Ketentuan Pasal 125 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh mengandung konsekuensi bahwa syari’at Islam yang dimaksud dalam Undang-Undang ini merupakan syari’at Islam yang seluas-luasnya, termasuk dalam bidang hukum pidana (Jinayah). Akibat selanjutnya adalah bahwa hukum pidana yang berlaku di Aceh adalah hukum pidana Islam beserta dengan sanksi pidananya. Jenis-Jenis Pidana dalam Hukum pidana Islam antara lain adalah rajam, jilid atau dera, potong tangan, kurungan/penjara seumur hidup, eksekusi bunuh, pengasingan/ deportasi dan salib. Kewenangan Mahkamah Syariah dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana diatur dalam Ketentuan Pasal 128 UU No. 11 Tahun 2006 adalah berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara berdasarkan Syariat Islam. Ketentuan Pasal 3A ayat (2) UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menegaskan bahwa Peradilan Syariat Islam di Aceh merupakan Pengadilan Khusus yang berada dalam 2 lingkungan Badan Peradilan. Tentu saja Ketentuan Pasal 3A ayat (2) UU NO. 50 Tahun 2009 telah bertentangan dengan UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 27 ayat (1) yang menegaskan bahwa Pengadilan Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
2.   Pidana Cambuk dalam perspektif hukum pidana nasional adalah bertentangan dan pengaturannya terkesan “dipaksakan” menjadi bagian dari hukum nasional. Adapun alasannya sebagai berikut:
a.       Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 11 Mei 1970 nomor 59  K/Kr/1969, Mahkamah Agung berpendapat antara lain sebagai berikut: “Menambah jenis hukuman yang ditetapkan dalam Pasal 10 KUHP adalah tidak dibenarkan”.
b.      Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 26 September 1970 Nomor 74 K/Kr/1969, Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut: “Pengadilan Negeri sebagai hakim pidana tidak berwenang menjatuhkan putusan selain yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP”.
c.       Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-VI/2008 yang amar putusannya menolak menambahkan kewenangan absolut Peradilan Agama dalam bidang Hukum Jinayah (Pidana) serta mempertegas kembali ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama tidak betentangan dengan UUD NRI 1945.
d.      Penjatuhan jenis pidana dengan membeda-bedakan agama sipelaku bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 Tentang Persamaan Kedudukan di Dalam Hukum, mengakibatkan terjadinya dualisme hukum pidana serta ketidakpastian hukum.
e.       Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan pada hukum bukan berdasarkan pada agama tertentu. Pemberlakuan Syariat Islam secara penuh (kaffah) di Aceh telah menyalahi makna Negara Hukum yang berlaku di Indonesia.
f.       Penjatuhan jenis pidana cambuk di tempat terbuka dan disaksikan oleh orang banyak termasuk anak-anak, secara tidak langsung berdampak negatif yaitu memberikan pendidikan kekerasan kepada masyarakat umum/ anak-anak. Pidana cambuk juga menimbulkan luka yang berkepanjangan pada bagian tubuh si terpidana dan terhadap jenis pidana ini sudah mulai ditinggalkan oleh bangsa-bangsa yang menjunjung tinggi hukum yang beradab dan berprikemanusiaan.
g.      Pemberlakuan pidana cambuk di aceh telah membuat salah satu sub sistem peradilan pidana terpadu yaitu Lembaga Permasyarakatan sebagai tempat untuk untuk mendidik dan membina para terpidana menjadi tidak berfungsi.
5.2. Saran
Adapun saran yang ingin disampaikan yaitu:
1.      Terhadap Ketentuan Pasal 125 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang mengatur mengenai pemberlakuan hukum jinayah (pidana) ditinjau kembali karena telah bertentangan dengan Ketentuan yang lebih tinggi yaitu Pancasila, Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945, Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI 1945,  Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
2.      Terhadap Ketentuan Pasal 3A ayat (2) UU No. 50 Tahun 2009 yang menentukan bahwa Peradilan Syariat Islam berada dalam 2 (dua) lingkungan Badan Peradilan ditinjau kembali karena telah menyalahi ketentuan dalam Pasal 27 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan Pengadilan Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
 

No comments:

Post a Comment