Seiring dengan perkembangan jaman, kehidupan
masyarakat Indonesia sudah semakin maju dan berkembang.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam hukum juga berkembang seiring
dengan perkembangan masyarakat Indonesia. Aturan-aturan yang telah ada sejak
dulu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kepentingan-kepentingan yang
ada dalam masyarakat serta tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Namun
bagaimana pun kepentingan masing-masing haruslah ditentukan batas-batasnya dan
dilindungi. Membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam
pergaulan antar manusia adalah tugas hukum.[1]
Oleh karena itu terhadap aturan-aturan yang sudah tidak sesuai perlu diadakan
suatu pembaharuan dalam bidang hukum terutama hukum pidana.
Dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia,
terlebih dahulu haruslah diketahui permasalahan pokok dalam hukum pidana. Dalam
salah satu laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980
dinyatakan:[2]
1.
Sesuai
dengan politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada
perlindungan masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup
dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat atau
negara, korban dan pelaku.
2.
Atas
dasar tujuan tersebut maka pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang
bersifat :
a.
Kemanusiaan;
dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat
seseorang
b.
Edukatif;
dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas
perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif
dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan;
c.
Keadilan;
dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun
oleh korban ataupun oleh masyarakat.
Menurut Sudarto, sedikitnya ada 3 (tiga) alasan
perlunya memperbarui KUHP yaitu alasan sosiologis, politis dan praktis
(kebutuhan dalam praktik)[3].
Menurut Muladi, salah satu karakteristik hukum pidana yang mencerminkan
proyeksi hukum pidana masa datang adalah hukum pidana nasional dibentuk tidak
hanya sekedar atas alasan sosiologis, politis dan praktis semata-mata melainkan
secara sadar harus disusun dalam rangka kerangka Idiologi Nasional Pancasila.[4]
Menurut Barda Nawawi, Pembaharuan hukum pidana pada
hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan
reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik,
sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi
kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakkan hukum di
Indonesia.[5]
Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa perumusan
ketentuan dalam KUHP baru seyogyanya merupakan produk kesadaran hukum
masyarakat Indonesia sendiri atau paling tidak merupakan perumusan yang dekat
dengan kesadaran masyarakat hukum Indonesia. Artinya perumusan ketentuan hukum
baru itu jangan sampai semata-mata merupakan produk kesadaran hukum barat
sebagaimana tampil dalam kenyataan KUHP yang merupakan warisan penjajahan
Belanda di Indonesia.[6]
Ariawan mengungkapkan bahwa pembaharuan hukum pidana
hendaknya memperhatikan 4 (empat) spirit yaitu:[7]
a)
Spirit
“forward looking” didukung oleh nilai
bahwa penggunaan hukum pidana hendaknya jangan semata-mata sebagai sarana balas
dendam;
b)
Spirit
“Restoratif justice” didukung oleh
sistem nilai yang menegaskan bahwa kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat
penggunaan hukum pidana haruslah lebih kecil dari akibat tindak pidana;
c)
Spirit
“natural crime” dibenarkan sistem
nilai bahwa, baik ‘law making’ maupun ‘law enforcement’ harus didukung oleh
masyarakat; dan
d)
Spirit
“integratif” didukung oleh fungsi
hukum pidana yang harus mencakup pengaturan yang serasi tentang perbuatan yang
bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana pelaku, pidana dan tindakan
serta perhatian terhadap korban tindak pidana.
Pendapat
para sarjana diatas dapat disimpulkan bahwa Pembaharuan hukum pidana meliputi:
1. Pembaharuan
struktur hukum pidana, pembaharuan subtansi hukum pidana dan pembaharuan budaya
hukum pidana
2. Pembaharuan
hukum pidana tidak hanya sekedar atas alasan sosiologis, politis dan praktis
semata-mata melainkan secara sadar harus disusun dalam rangka kerangka Idiologi
Nasional Pancasila
3. Pembaharuan
hukum pidana hendaknya mampu mengikuti perkembangan jaman dan juga perkembangan
dalam hukum Internasional
[1] Soedjono Dirdjosisworo, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, PT Raja Gravindo
Persada, Jakarta, h.5.
[2] BPHN, Departemen Kehakiman,
1980, Laporan Simposium Pembaharuan Hukum
Pidana Nasional, BPHN, h. 6-7.
[3] Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat,
“Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana”, Sinar Baru, Bandung, h. 66.
[4] Muladi, 1990, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Dimasa Yang
Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum UNDIP, Tanggal 24
Februari 1990, Semarang, h. 3.
[5] Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cet
2, Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief III), h.
27.
[6] Jimly
Asshidiqie,1997, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Angkasa, Bandung,
h. 3.
[7] Ariawan I Gusti Ketut, 2005, Sistem Pemidanaan
Dalam Delik Adat. Makalah disampaikan dalam seminar “Delik Adat
Lokika Sangraha Dalam Pembentukan KUHP Nasional (Ide Terhadap Rumusan Dan
Sanksi)” Deselenggarakan oleh KORMAS Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Tgl
29 Oktober 2005, Denpasar, h. 11.