Monday, December 24, 2012

Pembaharuan Hukum Pidana dalam KUHP Baru



Seiring dengan perkembangan jaman, kehidupan masyarakat Indonesia sudah semakin maju dan berkembang. Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam hukum juga berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Indonesia. Aturan-aturan yang telah ada sejak dulu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat serta tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Namun bagaimana pun kepentingan masing-masing haruslah ditentukan batas-batasnya dan dilindungi. Membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam pergaulan antar manusia adalah tugas hukum.[1] Oleh karena itu terhadap aturan-aturan yang sudah tidak sesuai perlu diadakan suatu pembaharuan dalam bidang hukum terutama hukum pidana.
Dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, terlebih dahulu haruslah diketahui permasalahan pokok dalam hukum pidana. Dalam salah satu laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980 dinyatakan:[2]
1.      Sesuai dengan politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat atau negara, korban dan pelaku.
2.      Atas dasar tujuan tersebut maka pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang bersifat :
a.       Kemanusiaan; dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang
b.       Edukatif; dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan;
c.       Keadilan; dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat.

Menurut Sudarto, sedikitnya ada 3 (tiga) alasan perlunya memperbarui KUHP yaitu alasan sosiologis, politis dan praktis (kebutuhan dalam praktik)[3]. Menurut Muladi, salah satu karakteristik hukum pidana yang mencerminkan proyeksi hukum pidana masa datang adalah hukum pidana nasional dibentuk tidak hanya sekedar atas alasan sosiologis, politis dan praktis semata-mata melainkan secara sadar harus disusun dalam rangka kerangka Idiologi Nasional Pancasila.[4]
Menurut Barda Nawawi, Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakkan hukum di Indonesia.[5]
Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa perumusan ketentuan dalam KUHP baru seyogyanya merupakan produk kesadaran hukum masyarakat Indonesia sendiri atau paling tidak merupakan perumusan yang dekat dengan kesadaran masyarakat hukum Indonesia. Artinya perumusan ketentuan hukum baru itu jangan sampai semata-mata merupakan produk kesadaran hukum barat sebagaimana tampil dalam kenyataan KUHP yang merupakan warisan penjajahan Belanda di Indonesia.[6]
Ariawan mengungkapkan bahwa pembaharuan hukum pidana hendaknya memperhatikan 4 (empat) spirit yaitu:[7]
a)    Spirit “forward looking” didukung oleh nilai bahwa penggunaan hukum pidana hendaknya jangan semata-mata sebagai sarana balas dendam;
b)   Spirit “Restoratif justice” didukung oleh sistem nilai yang menegaskan bahwa kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat penggunaan hukum pidana haruslah lebih kecil dari akibat tindak pidana;
c)    Spirit “natural crime” dibenarkan sistem nilai bahwa, baik ‘law making’ maupun ‘law enforcement’ harus didukung oleh masyarakat; dan
d)   Spirit “integratif” didukung oleh fungsi hukum pidana yang harus mencakup pengaturan yang serasi tentang perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana pelaku, pidana dan tindakan serta perhatian terhadap korban tindak pidana.

Pendapat para sarjana diatas dapat disimpulkan bahwa Pembaharuan hukum pidana meliputi:
1.      Pembaharuan struktur hukum pidana, pembaharuan subtansi hukum pidana dan pembaharuan budaya hukum pidana
2.      Pembaharuan hukum pidana tidak hanya sekedar atas alasan sosiologis, politis dan praktis semata-mata melainkan secara sadar harus disusun dalam rangka kerangka Idiologi Nasional Pancasila
3.      Pembaharuan hukum pidana hendaknya mampu mengikuti perkembangan jaman dan juga perkembangan dalam hukum Internasional


[1] Soedjono Dirdjosisworo, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, PT Raja Gravindo Persada, Jakarta, h.5.
[2] BPHN, Departemen Kehakiman, 1980, Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, BPHN, h. 6-7.
[3] Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, “Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana”, Sinar Baru, Bandung, h. 66.
[4] Muladi, 1990, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Dimasa Yang Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum UNDIP, Tanggal 24 Februari 1990, Semarang, h. 3.
[5] Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cet 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief III), h. 27.
[6] Jimly Asshidiqie,1997, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Angkasa, Bandung, h. 3.
[7] Ariawan I Gusti Ketut, 2005, Sistem Pemidanaan Dalam Delik Adat. Makalah disampaikan dalam seminar “Delik Adat Lokika Sangraha Dalam Pembentukan KUHP Nasional (Ide Terhadap Rumusan Dan Sanksi)” Deselenggarakan oleh KORMAS Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Tgl 29 Oktober 2005, Denpasar, h. 11.

6 comments:

  1. saya mw nanya mass,,,jam krja di tmpat sya mlebihi ktentuan dlam undang2 di atas!!!saya krja 8 jam dlam shari dan 7 hari dlam seminggu dengan upah standard!!!pantaskah jika saya menuntut dan kmana sya harus mengadu jika memang pntas untuk menuntut???

    ReplyDelete
  2. saya mw nanya mass,,,jam krja di tmpat sya mlebihi ktentuan dlam undang2 di atas!!!saya krja 8 jam dlam shari dan 7 hari dlam seminggu dengan upah standard!!!pantaskah jika saya menuntut dan kmana sya harus mengadu jika memang pntas untuk menuntut???

    ReplyDelete
    Replies
    1. mohon maaf pak randy kerja di sektor bagian apa? sebelum pak randy

      Delete
  3. Ketentuan waktu kerja selama 40 jam/minggu (sesuai dengan Pasal 77 ayat 1, UU No.13/2003) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu tersebut selebihnya diatur dalam Keputusan Menteri.

    Keputusan Menteri yang dimaksud adalah Kepmenakertrans No. 233 tentang Jenis Dan Sifat Pekerjaan Yang Dijalankan Secara Terus Menerus, dimana pada pasal 3 ayat (1) mengatur bahwa pekerjaan yang berlangsung terus menerus tersebut adalah:

    pekerjaan di bidang pelayanan jasa kesehatan;
    pekerjaan di bidang pelayanan jasa transportasi;
    pekerjaan di bidang jasa perbaikan alat transportasi;
    pekerjaan di bidang usaha pariwisata;
    pekerjaan di bidang jasa pos dan telekomunikasi;
    pekerjaan di bidang penyediaan tenaga listrik, jaringan pelayanan air bersih (PAM), dan penyediaan bahan bakar minyak dan gas bumi;
    pekerjaan di usaha swalayan, pusat perbelanjaan, dan sejenisnya;
    pekerjaan di bidang media masa;
    pekerjaan di bidang pengamanan;
    pekerjaan di lembaga konservasi;
    pekerjaan-pekerjaan yang apabila dihentikan akan mengganggu proses produksi, merusak bahan, dan termasuk pemeliharaan/perbaikan alat produksi.

    ReplyDelete